Benua Asa Part 1
Ada Harga Mahal
“Nduk,
sing ngati-ati. Sing lurus lakune, ndek mengko dadi wong sukses. ”
(Nak,
berhati-hatilah. Yang lurus jalannya, biar nanti bisa jadi orang
sukses.)
“Gendung…sing
sehat, sing pinter yo. Mbah wis tuwo, nek isa ketemu Alfi maneh ya
syukur, nek ora…sing ikhlas, ojo mikir Mbah terus. ”
(Nak…yang
sehat, yang pinter ya. Mbah sudah tua, 90 tahun lebih, kalau bisa
ketemu Alfi lagi ya syukur, kalau enggak….ya yang ikhlas, jangan
mikir Mbah terus.)
Aku cium
tangan satu per satu keluargaku. Simbah kakung -yang dengan tangan
gemetarnya karna usia- memelukku erat-erat. Aku tahu Si Ibu merasa
lebih kehilangan, tapi rupanya Ibu terlalu malu memperlihatkannya.
Aku melihat mata-mata yang berkaca dari mereka, tertahan, tapi tak
bisa dibohongi. Mungkin apa yang mereka rasakan sama dengan yang aku
rasakan saat itu, tenggorokan yang sakit karna menahan apa yang
seharusnya diekspresikan. Pakdeku berbeda, sempat terang-terangan
meneteskan air mata di depanku, menceritakan masa-masa lalu yang
pahit, juga harapan-harapannya untukku. Beliaulah salah satu orang
yang paling mendukung aku untuk melangkah.
Aku
bergegas keluar dari rumah. Rupanya ada sebuah taksi sudah terparkir
di depan gang, sengaja dipesankan oleh pakde untukku. Tentu ini
sangat bernilai buatku. Dengan tas dan koper seberat 40 kg yang pada
beberapa bagiannya terlihat masih fresh hasil sulaman ibuku karna
sudah tua dan sedikit sobek, aku masuk ke mobil taksi dengan lambaian
tangan. Mereka tak bisa berbohong, aku melihat mereka masih
memperhatikan taksi yang kutumpangi, meski sudah terlampau jauh taksi
melaju. Satu yang tertinggal, aku tak sempat berpamitan dengan adik
kecilku. Di jalan aku melihat dari balik jendela mobil, dia sedang
bersepeda menuju rumah, membawa gula yang dibelinya dari warung,
permintaan Si Ibu. Sayang, dia tak cukup mendengar suaraku memanggil
namanya. Pasti dia akan kecewa mendapati Si Mbaknya sudah tidak ada
di rumah….
Taksi
terus melaju. Menjauh dan terus menjauh. Suasana hening. Hanya ada
suara mesin mobil yang kudengar. Pikiranku melayang ke mana-mana,
mengingat betapa tidak mudahnya semua yang harus kulalui sebelum ini.
Aku
benci harus pergi keluar kota A, B, C, dan D saat weekend disaat
teman-temanku yang lain mungkin sedang berbaring santai di atas kasur
dengan gadgetnya. Aku benci harus tidur di stasiun X dan Z menunggu
kereta. Aku benci tergopoh-gopoh bertanya alamat kesana-kemari. Aku
benci harus berpura-pura sok cool menghadapi calo-calo preman di
terminal Y. Aku benci harus menyaksikan seorang dari mereka
membanting genggaman uang recehan ke lantai di depanku karna
melihatku terlalu cuek. Aku benci harus berlari-lari di tengah malam
hujan deras mengejar bus terakhir di terminal N. Aku benci melihat
jari kakiku melepuh berpanasan di jalan raya di Jakarta. Aku benci
harus terduduk lemas di depan gedung-gedung pencakar langit. Aku
benci berjalan jauh dengan sesenggukan di tepi jalan raya
metropolitan yang terik. Aku benci menjalani semuanya seorang diri. Aku benci.
Tapi aku
lebih benci lagi menjadi orang yang bodoh dan tak berharga….
Maka
langkah ini aku tempuh dengan peluh keringat yang bercucuran…serta
bulir-bulir doa yang tiada terputus.
Mobil
taksi terus melaju.
Purwokerto, sebuah kota
yang tidak terlalu besar di Jawa Tengah. Damai dan tenang, itu kesan
utama yang banyak orang bilang tentang kota ini. Begitupun dengan
pendapatku, sama. Ibuku berasal dari kota ini, sedangkan bapak asli
Surakarta. Meski demikian, logat bicaraku mengikuti logat Purwokerto,
karna memang aku terlahir di sana. Karenanya di mana saja aku berada
sepertinya aku punya kesan tersendiri di mata kawan-kawan
sepergaulan. Terlebih dengan karakterku yang katanya unik.
Sering menjadi topik untuk bercanda, menyenangkan. Ya, menyenangkan,
karna bisa membuat orang bergelak tawa dan bahagia. Tapi, pernah juga
mengalami hal sebaliknya, diejek, dianggap remeh. Rasanya? Sakit
hati dan sedih. Tapi justru ini adalah ekspresi yang sempat menjadi
penyesalanku. Tahu kenapa?
Tak seharusnya aku
sedih, juga sakit hati yang berlebih. Karena sebenarnya ada banyak
sekali hikmah yang bisa diambil dari peristiwa seperti itu, yang
mungkin tidak akan bisa didapat oleh mereka yang terlampau kenyang
dengan pujian dan sanjungan setiap waktu, yang pada akhirnya mungkin
akan menjadikannya takabur. Aku jadi mampu belajar menjadi manusia
yang lebih baik lagi. Aku jadi semakin kuat. Malu dan menyesal sekali
rasanya, tak perlulah aku seperti itu lagi. Karena sebetulnya Allah
sedang menunjukan bukti padaku bahwa Dia begitu sayang dengan diri
ini, melebihi apa yang aku dan mereka sangkakan. Teriring doa yang
baik untuk mereka yang sudah berbaik hati menyempatkan diri untuk
“mengoreksi” apa yang kurang dari aku, pasti teriring.
Kawan, meski aku bukan
anak gaul dari kota besar, tapi itu bukan berarti aku tak boleh
bermimpi besar. Meski aku bukan dari keluarga yang kaya raya, tapi
bukan berarti aku tak bisa kaya akan harapan-harapan. Aku punya hak
yang sama dengan yang lainnya. Aku punya cita-cita. Aku punya impian.
Aku punya tujuan hidup. Maka dengan segala niat yang cukup lama aku
pupuk, aku pendam diam-diam sebuah asa, Eropa!
Eropa adalah salah satu
mimpi dari sekian banyak impian dalam hidupku. Untuk mereka yang
konglomerat, mungkin keluar negeri adalah hal yang biasa, bukan
sesuatu yang perlu dibesarkan, atau bahkan dieluh-eluhkan, bukan.
Tapi buatku, seorang anak kampung -yang bahkan di masa kecilnya
beberapa detik saja melihat pesawat terbang di langit adalah hal yang
menghebohkan- pergi keluar negeri menjadi sebuah cita-cita
tersendiri. Lebih tepatnya aku ingin pergi merantau, hidup di luar
negeri, mencari ilmu dan bekerja keras di sana. Dan Jerman adalah
negara tujuan utamaku.
Menapakan kaki hingga
sampai di sini perlu perjuangan, Kawan. Aku yakin semua orang
Indonesia yang sampai di sini memerlukan perjuangan itu, termasuk
mereka yang dari golongan kaya raya. Hanya bedanya mungkin mereka tak
perlu terlalu pusing memikirkan materil uang untuk mencapai tempat
ini. Sedangkan aku? Aku harus menabung sendiri untuk segala macam
keperluan yang dibutuhkan, harus memutar otak agar bisa mencapai apa
yang aku citakan. Mempersiapkan semuanya dari jauh-jauh hari,
kalau-kalaulah saat itu akan benar-benar terjadi.
Hingga sebuah
kesempatan itu datang di suatu hari. Aku mengenal seorang professor
hebat di Jerman. Dan singkatnya, garis nasib bicara: aku mendapatkan
beasiswa. Ya, beasiswa membawaku ke sini -ke Dresden- di tahun 2013. Alhamdulillah.
Maka sejatinya semua
yang kuperlukan bukanlah semata-mata tentang uang.
Semacam hukum
kausalitas, beasiswa hanyalah sebuah hasil, bonus, dan efek samping,
yang mungkin saja kehadirannya datang dari arah, jalan, dan waktu
yang tidak disangka-sangka. Sedangkan sikap mental, fisik,
pikiran, dan doa yang kuat adalah caranya. Cara yang ditempuh. Cara yang bisa menggantikan posisi bermiliar-miliar dolar dari
seorang konglomerat, yang tidak ada pada diriku saat itu, karna sadar
aku bukanlah anak dari seorang konglomerat.
Maka kusampaikan, bahwa ada harga
mahal yang harus dibayar jika ingin mencapai sesuatu yang baik,
terlebih untuk sebuah masa depan….
Bersambung....
Nur Alfi Ekowati
Dresden, 1 Mei 2015
Images are from Google Image and Google Map.
0 komentar:
Posting Komentar